Makalah
Ilmu Budaya Dasar
Kearifan Lokal
yang Ada di Indonesia
Diajukan sebagai
tugas mata kuliah Ilmu Budaya Dasara
Disusun oleh :
Nama : Artatinova
NPM : 11214687
Mata Kuliah : Ilmu Budaya Dasar
Fakultas : Ekonomi
Jurusan : Manajemen
Kelas : 1EA12
Fakultas
Ekonomi
Universitas
Gunadarma
Jakarta
2014
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang sangat kaya akan keanekaragaman budaya,
etnis, suku dan ras, terdapat kurang lebih 389 suku bangsa yang memiliki adat
istiadat, bahasa, tata nilai dan budaya yang berbeda-beda satu dengan yang
lainnya (Asian Brain, 2010). Adat istiadat, tata nilai dan budaya tersebut
antara lain mengatur beberapa aspek kehidupan, seperti: hubungan sosial
kemasyarakatan, ritual peribadatan, kepercayaan, mitos-mitos dan sanksi adat
yang berlaku di lingkungan masyarakat adat yang ada.
Keanekaragaman budaya daerah tersebut merupakan potensi sosial yang dapa tmembentuk
karakter dan citra budaya tersendiri pada masing-masing daerah, serta merupakan
bagian penting bagi pembentukan citra dan identitas budaya suatu daerah. Disamping
itu, keanekaragaman merupakan kekayaan intelektual dan kultural sebagai bagian dari
warisan budaya yang perlu dilestarikan. Seiring dengan peningkatan teknologi
dan transformasi budaya ke arah kehidupan modern serta pengaruh globalisasi,
warisan budaya dan nilai-nilai tradisional masyarakat adat tersebut menghadapi
tantangan terhadap eksistensinya. Hal ini perlu dicermati karena warisan budaya
dan nilai-nilai tradisional tersebut mengandung banyak kearifan lokal yang masih
sangat relevan dengan kondisi saat ini, dan seharusnya dilestarikan, diadaptasi
atau bahkan dikembangkan lebih jauh. Beberapa nilai dan bentuk kearifan lokal,
termasuk hukum adat, nilai-nilai budaya dan kepercayaan yang ada sebagian
bahkan sangat relevan untuk diaplikasikan ke dalam proses atau kaidah
perencanaan dan pembangunan wilayah atau kawasan, seperti yang terdapat pada masyarakat
Bali, Minang, Aceh, Batak, Jawa, Sunda, Toraja, Sasak, Nias, dan lain-lain yang
memiliki berbagai kaidah perencanaan dan pengembangan kawasan. Kaidah-kaidah
tersebut ada yang bersifat anjuran, larangan, maupun persyaratan adat yang ditetapkan untuk aktivitas tertentu. Selain
aspek fisik dan visual, keanekaragaman budaya, sosial kemasyarakatan yang
terkandung di dalam kearifan lokal umumnya bersifat verbal dan tidak sepenuhnya
terdokumentasi dengan baik.
1.2
Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian
kearifan lokal?
2. Jenis-jenis kearifan
lokal?
3. Contoh-contoh
dan fungsi kearifan lokal yang ada di Indonesia?
4. Bentuk karifan
lokal?
5. Peran
kearifan lokal?
6. Kearifan
lokal dalam konteks pembentukan karakter bangsa?
1.3
Tujuan
1. Menambah pengetahuan dan wawasan tentang KEARIFAN
BUDAYA LOKAL CERMINAN PERILAKU
BUDAYA MASYARAKATNYA
2. Menambahkan rasa
percaya diri dan rasa peduli
terhadap kebudayaan Indonesia
3. Menyatukan
bangsa Indonesia
4. Untuk menghormati seluruh
kebudayaan lokal di indonesia karena kebudayaan lokal indonesia sebagai identitas dan sopan
santun.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Kearifan Lokal
Dalam pengertian kamus, kearifan lokal (local
wisdom) terdiri dari dua kata: kearifan (wisdom) dan lokal (local).
Dalam Kamus Inggris Indonesia John M. Echols dan Hassan Syadily, local berarti
setempat, sedangkan wisdom (kearifan) sama dengan kebijaksanaan. Secara
umum local wisdom (kearifan setempat) dapat dipahami sebagai
gagasan-gagasan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh
kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya.
Local Genius sebagai Local Wisdom
Dalam disiplin antropologi dikenal istilah local
genius. Local genius ini merupakan istilah yang mula pertama dikenalkan
oleh Quaritch Wales. Para antropolog membahas secara panjang lebar
pengertian local genius ini (lihat Ayatrohaedi, 1986). Antara lain
Haryati Soebadio mengatakan bahwa local genius adalah juga cultural
identity, identitas/kepribadian budaya bangsa yang menyebabkan bangsa
tersebut mampu menyerap dan mengolah kebudayaan asing sesuai watak dan
kemampuan sendiri (Ayatrohaedi, 1986:18-19). Sementara Moendardjito
(dalam Ayatrohaedi, 1986:40-41) mengatakan bahwa unsur budaya daerah
potensial sebagai local genius karena telah teruji kemampuannya untuk bertahan
sampai sekarang. Ciri-cirinya adalah:
1. mampu bertahan
terhadap budaya luar
2. memiliki kemampuan
mengakomodasi unsur-unsur budaya luar
3. mempunyai kemampuan
mengintegrasikan unsur budaya luar ke dalam budaya asli
4. mempunyai kemampuan
mengendalikan
5. mampu memberi arah
pada perkembangan budaya.
Perilaku yang bersifat umum dan berlaku di masyarakat
secara meluas, turun temurun, akan berkembang menjadi nilai-nilai yang dipegang
teguh, yang selanjutnya disebut sebagai kebudayaan (budaya). Kearifan lokal
didefinisikan sebagai kebenaran yang telah mentradisi atau ajeg dalam suatu
daerah (Gobyah, 2003). Kearifan lokal atau sering disebut local wisdom dapat
dipahami sebagai usaha manusia dengan menggunakan akal budinya (kognisi) untuk
bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi
dalam ruang tertentu (Ridwan, 2007). Kearifan (wisdom) secara etimologi berarti
kemampuan seseorang dalam menggunakan akal pikirannya untuk menyikapi sesuatu
kejadian, obyek atau situasi. Sedangkan lokal, menunjukkan ruang interaksi
dimana peristiwa atau situasi tersebut terjadi.
Dengan demikian, kearifan lokal secara substansial
merupakan norma yang berlaku dalam suatu masyarakat yang diyakini kebenarannya
dan menjadi acuan dalam bertindak dan berperilaku sehari-hari. Oleh karena itu,
kearifan lokal merupakan entitas yang sangat menentukan harkat dan martabat
manusia dalam komunitasnya (Geertz, 2007).
S. Swarsi Geriya dalam “Menggali Kearifan Lokal untuk
Ajeg Bali”, mengatakan bahwa secara konseptual, kearifan lokal dan keunggulan
lokal merupakan kebijaksanaan manusia yang bersandar pada filosofi nilai-nilai,
etika, cara-cara dan perilaku yang melembaga secara tradisional. Kearifan lokal
adalah nilai yang dianggap baik dan benar sehingga dapat bertahan dalam waktu
yang lama dan bahkan melembaga.
Adat kebiasaan pada dasarnya teruji secara alamiah dan
niscaya bernilai baik, karena kebiasaan tersebut merupakan tindakan sosial yang
berulang-ulang dan mengalami penguatan (reinforcement). Apabila suatu
tindakan tidak dianggap baik oleh masyarakat maka ia tidak akan mengalami
penguatan secara terus-menerus. Pergerakan secara alamiah terjadi secara
sukarela karena dianggap baik atau mengandung kebaikan. Adat yang tidak baik
akan hanya terjadi apabila terjadi pemaksaan oleh penguasa. Bila demikian maka
ia tidak tumbuh secara alamiah tetapi dipaksakan.
B. Contoh dan Fungsi Kearifan
Lokal
Menurut Prof. Nyoman Sirtha dalam “Menggali Kearifan
Lokal untuk Ajeg Bali" , bentuk-bentuk kearifan
lokal dalam masyarakat dapat berupa: nilai, norma, etika, kepercayaan,
adat-istiadat, hukum adat, dan aturan-aturan khusus. Oleh karena bentuknya yang
bermacam-macam dan ia hidup dalam aneka budaya masyarakat maka fungsinya
menjadi bermacam-macam.
Balipos terbitan 4 September 2003 memuat tulisan “Pola
Perilaku Orang Bali Merujuk Unsur Tradisi”, antara lain memberikan informasi
tentang beberapa fungsi dan makna kearifan lokal, yaitu:
1. Berfungsi untuk
konservasi dan pelestarian sumber daya alam.
2 Berfungsi untuk
pengembangan sumber daya manusia, misalnya berkaitan dengan upacara daur hidup,
konsep kanda pat rate.
3. Berfungsi untuk
pengembangan kebudayaan dan ilmu pengetahuan, misalnya pada upacara saraswati,
kepercayaan dan pemujaan pada pura Panji.
4. Berfungsi sebagai
petuah, kepercayaan, sastra dan pantangan.
5. Bermakna sosial
misalnya upacara integrasi komunal/kerabat.
6. Bermakna sosial,
misalnya pada upacara daur pertanian.
7. Bermakna etika dan
moral, yang terwujud dalam upacara Ngaben dan penyucian roh leluhur.
8. Bermakna politik,
misalnya upacara ngangkuk merana dan kekuasaan patron client
Dari penjelasan fungsi-fungsi tersebut tampak betapa luas
ranah keraifan lokal, mulai dari yang sifatnya sangat teologis sampai yang
sangat pragmatis dan teknis. Elly Burhainy Faizal mencontohkan beberapa
kekayaan budaya, kearifan lokal di Nusantara yang terkait dengan pemanfaatan
alam yang pantas digali lebih lanjut makna dan fungsinya serta kondisinya
sekarang dan yang akan datang. Kearifan lokal terdapat di beberapa daerah:
1. Papua, terdapat
kepercayaan te aro neweak lako (alam adalah aku). Gunung Erstberg dan
Grasberg dipercaya sebagai kepala mama, tanah dianggap sebagai bagian dari
hidup manusia. Dengan demikian maka pemanfaatan sumber daya alam secara
hati-hati.
2. Serawai, Bengkulu,
terdapat keyakinan celako kumali. Kelestarian lingkungan terwujud dari
kuatnya keyakinan ini yaitu tata nilai tabu dalam berladang dan tradisi tanam
tanjak.
3. Dayak Kenyah,
Kalimantan Timur, terdapat tradisi tana‘ ulen. Kawasan hutan dikuasai
dan menjadi milik masyarakat adat. Pengelolaan tanah diatur dan dilindungi oleh
aturan adat.
4. Masyarakat Undau Mau,
Kalimantan Barat. Masyarakat ini mengembangkan kearifan lingkungan dalam pola
penataan ruang pemukiman, dengan mengklasifikasi hutan dan memanfaatkannya.
Perladangan dilakukan dengan rotasi dengan menetapkan masa bera, dan
mereka mengenal tabu sehingga penggunaan teknologi dibatasi pada teknologi
pertanian sederhana dan ramah lingkungan.
5. Masyarakat Kasepuhan
Pancer Pangawinan, Kampung Dukuh Jawa Barat. Mereka mengenal upacara
tradisional, mitos, tabu, sehingga pemanfaatan hutan hati-hati. Tidak
diperbolehkan eksploitasi kecuali atas ijin sesepuh adat.
Kearifan lokal merupakan suatu gagasan konseptual yang
hidup dalam masyarakat, tumbuh dan berkembang secara terus-menerus dalam
kesadaran masyarakat, berfungsi dalam mengatur kehidupan masyarakat dari yang
sifatnya berkaitan dengan kehidupan yang sakral sampai yang profan.
Contoh Kearifan Lokal yang ada di Indonesia
Kearifan-kearifan lokal di Indoensia ini sangat kaya,
beragam, dan menyebar di keseluruhan kawasan di Indonesia. Kearifan lokal ini
umumnya dapat dijumpai dalam adat. Istilah inilah yang menjadi dasar dari
kearifan lokal bangsa Indonesia. Adat dijumpai dalam kebudayaan etnik di
seluruh Indonesia. Adat masyarakat Nusantara ini, memiliki konsep-konsepnya
sendiri pula. Di Aceh adatnya disebut dengan adat bak petumeuruhom hukom bak
syiah kuala. Dalam kebudayaan Minangkabau adat dikonsepkan sebagai adat
basandikan syarak, syarak basandikan kitabullah, syarak mangato, adat mamakai.
Berikut dideskripsikan konsep kearifan lokal (adat) Melayu.
Menurut Lah Husni adat pada etnik
Melayu tercakup dalam empat ragam, iaitu: (1) adat yang
sebenar adat; (2) adat yang diadatkan; (3)
adat yang teradat, dan (4) adat
istiadat. (1) Adat yang sebenar adat adalah apabila menurut waktu dan
keadaan, jika dikurangi akan merusak, jika dilebihi akan mubazir
(sia-sia). Proses ini berdasar kepada: (a) hati
nurani manusia budiman, yang tercermin dalam ajaran adat:
Pisang emas bawa belayar; Masak sebiji di dalam peti; Hutang emas dapat
dibayar; Hutang budi dibawa mati. (b) kebenaran yang sungguh
ikhlas, dengan berdasar pada: berbuat karena Allah bukan karena
ulah; (c) keputusan yang berpadan, dengan berdasar kepada:
hidup sandar-menyandar, pisang seikat digulai
sebelanga, dimakan bersama-sama. yang benar itu
harus dibenarkan, yang salah
disalahkan. Adat murai berkicau, tak mungkin
menguak. Adat lembu menguak, tak mungkin
berkicau. Adat sebenar adat ini menurut konsep
etnosains Melayu adalah: penuh tidak melimpah, berisi tidak kurang,
yang besar dibesarkan, yang tua dihormati, yang
kecil disayangi, yang sakit diobati, yang bodoh
diajari, yang benar diberi hak, yang kuat tidak melanda, yang tingg tidak
menghimpit, yang pintar tidak
menipu, hidup berpatutan, makan berpadanan. Jadi
ringkasnya, hidup itu seharusnya harmonis, baik
mencakup diri sendiri, seluruh negara, dan
lingkungan hidupnya. Tidak ada hidup yang
bernafsi-nafsi. Inilah adat yang tidak boleh berubah (Lah Husni,
1986:51).
(2) Adat yang diadatkan adalah adat itu
bekerja pada suatu landasan tertentu, menurut
mufakat dari penduduk daerah tersebut--kemudian
pelaksanaannya diserahkan oleh rakyat kepada yang dipercayai
mereka. Sebagai pemangku adat adalah seorang raja atau
penghulu. Pelaksanaan adat ini wujudnya adalah
untuk kebahagiaan penduduk, baik lahir ataupun batin,
dunia dan akhirat, pada saat itu dan saat yang akan datang.
Tiap-tiap negeri itu mempunyai situasi yang berbeda
dengan negeri-negeri lainnya, lain lubuk
lain ikannya lain padang lain belalangnya. Perbedaan keadaan,
tempat, dan kemajuan sesuatu negeri itu membawa resam dan
adatnya sendiri, yang sesuai dengan kehendak rakyatnya, yang diwarisi
dari leluhurnya. Perbedaan itu hanyalah dalam lahirnya
saja, tidak dalam hakikinya. Adat yang diadatkan ini
adalah sesuatu yang telah diterima untuk menjadi
kebiasaan atau peraturan yang diperbuat bersama atas mufakat menurut ukuran
yang patut dan benar, yang dapat dimodifikasi sedemikian rupa
secara fleksibel. Dasar dari adat yang diadatkan
ini adalah: penuh tidak melimpah, berisi tidak kurang,
terapung tidak hanyut, terendam tidak basah (Lah Husni, 1986:62).
(3) Adat yang teradat adalah
kebiasaan-kebiasaan yang secara berangsur-angsur atau cepat
menjadi adat. Sesuai dengan pepatah: sekali air
bah, sekali tepian berpindah, sekali zaman beredar,
sekali adat berkisar. walau terjadi perubahan adat itu, inti adat
tidak akan lenyap: adat pasang turun-naik, adat api
panas, dalam gerak berseimbangan, di antara akhlak dan
pengetahuan. Perubahan itu hanya terjadi dalam bentuk ragam,
bukan dalam hakiki dan tujuan semula. Umpamanya jika dahulu orang
memakai tengkuluk atau ikat kepala dalam suatu majelis, kemudian sekarang
memakai kopiah itu menjadi pakaian yang teradat. Jika dahulu
berjalan berkeris atau disertai pengiring, sekarang
tidak lagi. Jika dahulu warna kuning hanya raja
yang boleh memakainya, sekarang siapa pun boleh memakainya
(Lah Husni, 1986:62).
(4) Adat istiadat adalah
kumpulan dari berbagai kebiasaan, yang
lebih banyak diartikan tertuju kepada upacara khusus
seperti adat: perkawinan, penobatan raja, dan pemakaman raja. Jika hanya
adat saja maka kecenderungan pengertiannya adalah sebagai himpunan
hukum, misalnya: hukum ulayat, hak asasi dan sbagainya. Dalam konteks
kebudayaan Melayu, adat istiadat ini mencakup daur hidup manusia Melayu, yang
tercermin dalam upacara melenggang perut saat perempuan Melayu hamil. Kemudian
upacara kelahiran, akikah, manabalkan nama, bercukur, dan memijak tanah.
Seterusnya upacara khitanan pada saat akil baligh. Kemudian ada pula upacara
perkawinan adat Melayu, yang mencakup tahapan-tahapan seperti merisik kecil,
meminang, jamu sukut, akad nikah, hempang pintu, hempang batang, hempang kipas,
duduk di pelaminan, mandi bedimbar, meminjam pengantin, dan setersnya.
Selanjutnya ada pula upacara kematian, membaca Yassin, kirim doa, dan
seterusnya. Dalam kebudayaan Melayu terdapat juga upacara-upacara yang bersifat
menyatu dengan alam (kosmologi) seperti mulaka nukah, mulaka ngerbah, jamu
laut, mandi Syafar, dan lain-lainnya. Yang jelas adat istiadat Melayu lahir
karena respins terhadap alam.
Dalam adat Melayu kearifan-kearifan lokal dalam
konteks membentuk kepribadian dan kebangsaan, sangat lekat dengan konsep
adat yang diadatkan. Bahwa orang Melayu sangatlah menghargai pemimpin seperti
sultan, raja, perdana menteri, menteri, panglima, penghulu, ketua mukim, dan
lain-lainnya. Orang Melayu perlu memiliki pemimpin yang adil, bijaksana, bisa
diperaya (amanah), selalu berusaha untuk benar dalam hidup, dan lain-lainnya.
Pemimpin menjadi sebuah kewajiban dalam tata pemerintahan dan politik dalam
kebudayaan Melayu. Seperti tercermin dalam ajaran adat: Apa tanda Melayu jati/
mengangkat pemimpin bijak bestari/ Apa tanda Melayu jati/ Pemimpin dan ulama
mesti bersebati. Dengan adanya pemimpin dan rakyat yang dipimpin menjadikan
umat Melayu memiliki tata pemerintahnya dan selanjutnya ketika nasionalisme
muncul mereka membentuk negara bangsa. Ini salah satu karakter kepemimpinan
yang bisa diterapkan dalam konteks menuju karakter bangsa.
Dalam adat Melayu juga dikenal kearifan lokal, bahwa
hidup dikandung adat, biar mati anak asal jangan mati adat. Artinya bahwa orang
Melayu sangatlah memperhatikan kesinambungan dan pendidikkan kebudayaan. Bila
adat itu lestari maka akan lestarilah kebudayaan Melayu. Jika keturunan kita
berbuat salah maka kita jangan segan memberikan hukuman atau sangsi sosial
sebagaimana yang berlaku. Bukan saja kearifan lokal Melayu, beberapa kelompok
etnik di Nusantara ini juga memiliki kearifan lokal yang berkaitan dengan
pembentukan karakter bangsa. Misalnya pada etnik Nias, sistem
penggolongan derajat manusia berasaskan tingkat-tingkat kehidupan, dimulai dari
janin sampai kehidupan akhirat. Pengertian bosi ini mencakup dua belas
tingkat kehidupan. Dalam konteks ini, bosi nantinya mengarahkan manusia
untuk berusaha mencapai tingkat tertinggi, agar setelah ia mati, akan
memperoleh kebahagiaan di dalam teteholi ana’a (sorga). Adapun pembagian
bosi itu adalah: fangaruwusi (memperlihatkan kandungan); tumbu (lahir);
famatoro doi (memberi nama); famoto (sirkumsisi); falowa (kawin); famadadao omo
(membangun rumah); fa’aniha banua (memasuki persekutuan desa); famaoli (menjadi
anggota adat); fangai toi (mengambil gelar); fa’amokho (kekayaan); mame’e go
banua (menjamu orang se desa) dan mame’e go nori (menjamu orang satu ori,
beberapa desa (Dasa Manao et al. 1998:195-196). Inti dari kearifan lokal itu
adalah, bahwa sebagai sebuah suku dan juga bangsa setiap orang Nias selalu
berinteraksi dan menjadi bahagian komunitas sosial. Dalam hal ini seorang
pemimpin sosial mestilah mampu memberikan rezekinya kepada orang lain. Seorang
pemimpin adalah tangan di atas bukan di bawah.
Selain itu kearifan lokal dalam konteks pembangunan
karakter bangsa juga terdapat dalam kebudayaan Batak Toba.
Sebagai satu kesatuan etnik, orang-orang Batak Toba mendiami suatu daerah
kebudayaan (culture area) yang disebut dengan Batak Toba. Mereka disebut
orang Toba. Menurut Vergouwen, masyarakat Batak Toba mengenal beberapa
kesatuan tempat yaitu: (1) kampung, lapangan empat persegi dengan halaman yang
bagus dan kosong di tengah-tengahnya, (2) huta, “republik” kecil yang
diperintah seorang raja, (3) onan, daerah pasar, sebagai satu kesatuan ekonomi,
(4) homban (mata air), (5) huta parserahan, kampung induk dan lain-lain
(Vergouwen 1964:119-141). Inti ajaran kearifan lokal seperti terurai di atas
adalah bahwa kita hidup adalah sebagai makhluk sosial yang nemerlukan dan
diperrlukan oleh orang lain baik di peringkat kelompok sosial kecil sampai yang
besar, termasuk bernegara.
Dari contoh-contoh di atas tergambar dengan jelas bahwa kearifan lokal
masyarakat Nusantara terkodifikasi dalam adat. Adat masyarakat Nusantara ini
memiliki konsep-konsepnya tersendiri di setiap kelompok etnik. Dalam kearifan
lokal Nusantara terdapat nilai-nilai untuk membentuk karakter bangsa. Nilai-nilai
tersebut mencakup: sistem kepemimpinan, hubungan sosial, hidup secara
berkelompok, pentingnya berbagi materi dan pengalaman kepada orang lain,
belajar terus dari alam, nilai-nilai gotong royong, bagaimana menghadapi
perubahan dan globalisasi, sadar akan makhluk yang mulai dari kecil, dewasa,
sampai meninggal, hidup tidak boleh sombong, dan seterusnya.
Sebagai sebuah bangsa yakni bangsa Indonesia kita berkarakter positif yang
dapat digali nilai karakter berbangsa itu dari kearifan lokal (etnik). Di
antara karakter bangsa itu adalah: bersama secara sosial dan bergotong royong,
menerapkan nilai-nilai kebenaran berdasarkan agama dan adat, memiliki pemimpin,
menghormati pemimpin, bertindak secara benar, amanah, menjaga persatuan, tidak
menghujat, dan seterusnya. Dengan demikian, maka kearifan lokal ini perlu terus
digali dalam rangka menumbuhkan karakter berbangsa dan bernegara.
Masih banyak lagi kearifan lokal yang masih dapat bertahan dan melekat di
kehidupan masyarakat. Sistem pertanian subak di Bali, sistem pelestarian hutan
oleh suku-suku pedalaman, sistem pengaturan mencari ikan di pedalaman Papua,
sistem penetasan telur ayam dengan menggunakan gabah dan gerabah di Nusa
Tenggara, sistem pengelolaan tanah ulayat yang berkelanjutan dan lain-lain
terbukti dapat diterapkan sejalan dengan kehidupan modern. Manusia modern
seharusnya menyadari bahwa kearifan lokal itu bukanlah merupakan suatu yang
ditemukan dan dikembangkan oleh para nenek moyang kita secara instan. Kearifan
lokal ini dikembangkan dalam waktu lama dan selaras dengan pelestarian
lingkungan.
Tradisi subak di Bali yang menyalurkan air untuk pertanian, sasi di Maluku dan
Papua yang mencegah penangkapan ikan secara berlebihan (Salim, dalam Rohadi,
2007:35), zoning di Papua dan karuhun di tanah Sunda
yang mengatur pengelolaan lahan/hutan, dan air (Hadi, 2009: 28-30), serta
leuweung di tanah Sunda untuk pengelolaan dan tata guna hutan dan lahan
(Abdilah, 2007:2) adalah sebagian contoh kearifan lokal yang sangat ramah
lingkungan dan berdampak positif bagi kehidupan warga masyarakat di sekitarnya.
Hal tersebut sebenarnya menunjukkan realitas social yang tidak saja membuktikan
bentuk-bentuk tanggung jawab etik dan moral, wujud dari keserasian dan
keselarasan hubungan antara manusia dengan alam, akan tetapi juga menunjukkan
bahwa secara naluriah manusia memiliki kecenderungan untuk selalu memahami
lingkungannya, menjalin ikatan yang sedemikian dekat dengan alam; juga
merupakan cermin dari masyarakat yang mandiri.
C. Jenis-Jenis Kearifan Lokal
Jenis kearifan lokal meliputi tata kelola, nilai-nilai
adat, serta tata cara dan prosedur, termasuk dalam pemanfaatan ruang (tanah
ulayat).
1. Tata
Kelola
Di setiap daerah pada umumnya terdapat suatu sistem
kemasyarakatan yang mengatur tentang struktur sosial dan keterkaitan antara
kelompok komunitas yang ada, seperti Dalian Natolu di Sumatera Utara, Nagari di
Sumatera Barat, Kesultanan dan Kasunanan di Jawa dan Banjar di Bali. Sebagai
contoh, masyarakat Toraja memiliki lembaga dan organisasi sosial yang mengelola
kehidupan di lingkungan perdesaan. Pada setiap daerah yang memiliki adat besar
pada umumnya terdiri dari beberapa kelompok adat yang dikuasai satu badan
musyawarah adat yang disebut Kombongan Ada’. Setiap Kombongan Ada’ memiliki
beberapa penguasa adat kecil yang disebut Lembang. Di daerah lembang juga masih
terdapat penguasa adat wilayah yang disebut Bua’ (Buletin Tata Ruang, 2009).
Selain itu, terdapat pula pembagian tugas dan fungsi
dalam suatu kelompok masyarakat adat misalnya Kepatihan (patih), Kauman
(santri) di perkampungan sekitar Keraton di Jawa. Kewenangan dalam struktur
hirarki sosial juga menjadi bagian dari tata kelola, seperti kewenangan ketua
adat dalam pengambilan keputusan, dan aturan sanksi serta denda sosial bagi
pelanggar peraturan dan hukum adat tertentu.
2. Sistem
Nilai
Sistem nilai merupakan tata nilai yang dikembangkan
oleh suatu komunitas masyarakat tradisional yang mengatur tentang etika
penilaian baik-buruk serta benar atau salah. Sebagai contoh, di Bali, terdapat
sistem nilai Tri Hita Karana yang mengaitkan dengan nilai-nilai kehidupan
masyarakat dalam hubungannya dengan Tuhan, alam semesta, dan manusia. Ketentuan
tersebut mengatur hal-hal adat yang harus ditaati, mengenai mana yang baik atau
buruk, mana yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan, yang jika hal
tersebut dilanggar, maka akan ada sanksi adat yang mengaturnya.
3. Tata
Cara atau Prosedur
Beberapa aturan adat di daerah memiliki ketentuan
mengenai waktu yang tepat untuk bercocok tanam serta sistem penanggalan
tradisional yang dapat memperkirakan kesesuaian musim untuk berbagai kegiatan
pertanian, seperti: Pranoto Mongso (jadwal dan ketentuan waktu bercocok tanam
berdasarkan kalender tradisional Jawa) di masyarakat Jawa atau sistem Subak di
Bali.
Selain itu, di beberapa daerah, seperti Sumatera,
Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua umumnya memiliki aturan mengenai
penggunaan ruang adat termasuk batas teritori wilayah, penempatan hunian,
penyimpanan logistik, aturan pemanfaatan air untuk persawahan atau pertanian
hingga bentuk-bentuk rumah tinggal tradisional. Di Tasikmalaya Jawa Barat
misalnya, terdapat sebuah kampung budaya yaitu Kampung Naga, yang masyarakatnya
sangat teguh memegang tradisi serta falsafah hidupnya, mencakup tata wilayah
(pengaturan pemanfaatan lahan), tata wayah (pengaturan waktu pemanfaatan), dan
tata lampah (pengaturan perilaku/perbuatan).
4. Ketentuan
Khusus (Kawasan Sensitif, Suci, Bangunan)
Mengenai pelestarian dan perlindungan terhadap kawasan
sensitif, seperti di Sumatera Barat, terdapat beberapa jenis kearifan lokal
yang berkaitan dengan pengelolaan hutan, tanah, dan air seperti Rimbo Larangan
(hutan adat/hutan larangan), Banda Larangan (sungai, anak sungai / kali
larangan), Parak (suatu lahan tempat masyarakat berusaha tani dimana terdapat
keberagaman jenis tanaman yang dapat dipanen sepanjang waktu secara
bergiliran), serta Goro Basamo (kegiatan kerja bersama secara gotong royong
untuk kepentingan masyarakat banyak seperti membuat jalan baru, bangunan rumah
ibadah, membersihkan tali bandar (sungai), dan menanam tanaman keras).
Terkait dengan bentuk adaptasi dan mitigasi tempat
tinggal terhadap iklim, bencana atau ancaman lainnya, masyarakat tradisional
juga telah mengembangkan berbagai bentuk arsitektur rumah tradisional seperti
rumah adat batak, rumah gadang, rumah joglo, rumahpanjang, rumah toraja, dan
rumah adat lainnya yang dapat memberikan perlindungan dan ramah terhadap
lingkungan.
D. Bentuk Kearifan Lokal
Bentuk kearifan lokal dapat dikategorikan ke dalam dua
aspek, yaitu kearifan lokal
yang berwujud nyata (tangible) dan yang tidak
berwujud (intangible).
1 . Kearifan
Lokal yang Berwujud Nyata (Tangible)
Bentuk kearifan lokal yang berwujud nyata meliputi
beberapa aspek berikut:
a) Tekstual
Beberapa jenis kearifan lokal seperti sistem nilai,
tata cara, ketentuan khusus yang dituangkan ke dalam bentuk catatan tertulis
seperti yang ditemui dalam kitab tradisional primbon, kalender dan prasi
(budaya tulis di atas lembaran daun lontar). Sebagai contoh, prasi, secara
fisik, terdiri atas bagian tulisan (naskah cerita) dan gambar (gambar
ilustrasi) (Suryana, 2010). Tulisan yang digunakan dalam prasi adalah huruf
Bali. Gambar yang melengkapi tulisan dibuat dengan gaya wayang dan menggunakan
alat tulis/gambar khusus, yaitu sejenis pisau.
Seiring dengan pergantian zaman, fungsi prasi sudah
banyak beralih dari fungsi awalnya, yaitu awalnya sebagai naskah cerita yang
beralih fungsi menjadi benda koleksi semata. Sekalipun perubahan fungsi lebih
mengemuka dalam keberadaan prasi masa kini, penghargaannya sebagai bagian dari
bentuk-bentuk kearifan lokal masyarakat Bali tetap dianggap penting.
b) Bangunan/Arsitektural
Banyak bangunan-bangunan tradisional yang merupakan
cerminan dari bentuk kearifan lokal, seperti bangunan rumah rakyat di Bengkulu.
Bangunan rumah rakyat ini merupakan bangunan rumah tinggal yang dibangun dan
digunakan oleh sebagian besar masyarakat dengan mengacu pada rumah ketua adat.
Bangunan vernakular ini mempunyai keunikan karena proses pembangunan yang
mengikuti para leluhur, baik dari segi pengetahuan maupun metodenya (Triyadi
dkk., 2010). Bangunan vernakular ini terlihat tidak sepenuhnya didukung oleh prinsip
dan teori bangunan yang memadai, namun secara teori terbukti mempunyai
potensi-potensi lokal karena dibangun melalui proses trial & error,
termasuk dalam menyikapi kondisi lingkungannya.
c) Benda Cagar
Budaya/Tradisional (Karya Seni)
Banyak benda-benda cagar budaya yang merupakan salah
satu bentuk kearifan lokal, contohnya, keris. Keris merupakan salah satu bentuk
warisan budaya yang sangat penting. Meskipun pada saat ini keris sedang
menghadapi berbagai dilema dalam pengembangan serta dalam menyumbangkan
kebaikan-kebaikan yang terkandung di dalamnya kepada nilai-nilai kemanusiaan di
muka Bumi ini, organisasi bidang pendidikan dan kebudayaan atau UNESCO Badan
Perserikatan Bangsa Bangsa, mengukuhkan keris Indonesia sebagai karya agung
warisan kebudayaan milik seluruh bangsa di dunia. Setidaknya sejak abad ke-9,
sebagai sebuah dimensi budaya, Keris tidak hanya berfungsi sebagai alat
beladiri, namun sering kali merupakan media ekspresi berkesenian dalam hal
konsep, bentuk, dekorasi hingga makna yang terkandung dalam aspek seni dan
tradisi teknologi arkeometalurgi. Keris memiliki fungsi sebagai seni simbol
jika dilihat dari aspek seni dan merupakan perlambang dari pesan sang empu
penciptanya.
Ilustrasi lainnya adalah batik, sebagai salah satu
kerajinan yang memiliki nilai seni tinggi dan telah menjadi bagian dari budaya
Indonesia (khususnya Jawa) sejak lama. Terdapat berbagai macam motif batik yang
setiap motif tersebut mempunyai makna tersendiri. Sentuhan seni budaya yang
terlukiskan pada batik tersebut bukan hanya lukisan gambar semata, namun
memiliki makna dari leluhur terdahulu, seperti pencerminan agama (Hindu atau
Budha), nilai-nilai sosial dan budaya yang melekat pada kehidupan masyarakat.
2. Kearifan
Lokal yang Tidak Berwujud (Intangible)
Selain bentuk kearifan lokal yang berwujud, ada juga
bentuk kearifan lokal yang tidak berwujud seperti petuah yang disampaikan
secara verbal dan turun temurun yang dapat berupa nyanyian dan kidung yang
mengandung nilai-nilai ajaran tradisional. Melalui petuah atau bentuk kearifan
lokal yang tidak berwujud lainnya, nilai sosial disampaikan secara oral/verbal
dari generasi ke generasi.
E. Peran Kearifan Lokal dalam
Tatanan Nasional
Berbicara tentang kearifan lokal, maka kita akan
diseret ke sebuah mainstream yang sangat erat hubungannya dengan kebudayaan.
Pada sisi ini menjadi varian utama dalam membentuk apa yang dicitakan, yakni
penciptaan sebuah tatanan masyarakat yang demokratis yang kemudian membentuk
Negara demokrasi yang merupakan konsep (teknis) Negara “pemerintah dari rakyat,
oleh rakyat, dan untuk rakyat” yang disampaikan oleh Abraham Lincoln dalam
pidato kenegaraan, karena masyarakat sudah terbisaa dengan perbedaan dan
bersikap toleran terhadap adanya perbedaan tersebut dan di bangunnya asas
kedemokrasian dalam sebuah pemerintahan itu dilatarbelakangi salah satunya
keragaman.
Kearifan lokal (Local wisdom) di Indonesia
memang sudah menjadi bagian tidak terpisahkan dari masyarakat pribumi mulai
sebelum Indonesia merdeka dan berbentuk Negara kesatuan. Hal ini menunjukkan,
bahwa kemerdekaan yang sekarang kita rasakan tidak lepas dari kearifan yang
sudah hidup sebelumnya contoh di Islam ada Tahlil, para penjajah sangat
ketakutan ketika masyarakat pribumi melakukan kegiatan tahlil, srakalan, acara
maulid Nabi dan acara-acara keagamaan yang bersifat jam’iyah, karena
melalui acara-acara tersebut selain pembacaan kalimah thayibah, juga
musyawarah atau sekedar diskusi yang itu akan memunculkan ide-ide kemerdekaan
(Hadiwijaya, 2010) .
Upaya Nasional dalam Menjaga Kearifan Lokal
Sebagaimana dalam pendahuluan di atas, bahwa merupakan
tugas Negara dalam hal ini yang paling terpenting adalah peran pemerintah dalam
menjaga keharmonisan masyarakat yang berkebudayaan yang beragam sehingga
keragaman-keberagaman tersebut tidak menjadi alasan untuk menimbulkan
perpecahan dalam suatu Negara dan dapat terjaga sekaligus dilestarikan
sebagaimana mestinya. Setidaknya ada beberapa upaya Negara dalam menjaga
kearifan local, yakni salah satunya dengan membangun museum-museum dan melalui pendidikan,
dalam artian, bagaimana pendidikan menjadikan kekuatan kebudayaan itu melalui
kerifan lokal masing-masing suku bangsa dapat eksis dan mengalami dinamisasi
yang produktif.
Produktifitas kebudayaan yang dimaksudkan adalah
transformasi kearifan lokal dalam kanca Internasional, hal ini memungkinkan
jika ditopang oleh peran pendidikan dan aktor intelektualnya. Sehingga menjadi
tindakan yang keliru kemudian memisahkan antara proses pendidikan dan
kebudayaan, karena pada praktisnya pendidikan mempunyai tiga pilan dalam
menjalankan kependidikan yakni, sekolah, keluarga dan masyarakat yang ketiganya
merupakan wilayah strategis dalam mengembangkan kebudayaan.
Yang Mulai Terlupakan dan terabaikan
Para intelektual dan para cendekiawan kita mulai
melupakan mungkin akibat pengaruh modernisasi kearifan lokal yang dinilainya
kuno banyak para pemuda Indonesia menganggap hal-hal yang mistis seperti keris,
wiridan-wiridan, kejawen dan lain sebagainya sudah dianggap hal yang kurang
atau bahkan tidak rasional, padahal sebelum Albert Einstein, seorang ilmuwan
terhebat abad ke-20. Cendekiawan yang katanya tak ada tandingannya sepanjang
jaman termasuk karena teori "relativitas"-nya belum lahir di dunia
pengetahuan, kearifan kejawen sudah memberikan teori, tentang asas pertama
alam, dengan ungkapan ana manuk bango buthak, ngendog ing ngenthak-ngenthak
yakni sebelum dunia dan seisinya mengisi alam semesta ini, jagad masih berupa
susunan tata surya yang kosong. di sana terdapat sekumpulan awan putih yang
pijar dan berputar. Awan putih itu jika dilihat tampak seperti burung bangau
putih polos. Sekumpulan awan itu memercikkan gumpalan-gumpalan putih kecil,
seperti burung bangau yang bertelur dan telurnya tercerai berai, telur-telur
itulah yang menjadi bumi, mars, yupiter, dan planet-planet yang lain, sedangkan
inti dari gumpalan awan itu manjadi matahari (Hadiwijaya, 2010), itu salah satu
contoh saja dari kearifan lokal yang ada di Indonesia yang serat dengan
pengetahuan. Hal ini bisa kita lihat berapa persenkah para pelajar muda (jawa)
yang bisa menulis dengan tulisan jawa atau bahkan hampir tidak ada?, padahal di
tahun 2005 di Belanda sudah membuka fakultas ilmu jawa, mungkin ini menjadi
bahan koreksi diri (muhasabah) bagi para pemuda Indonesia . Lebih
ironisnya lagi Presiden Indonesia Sosilo Bambang Yudhoyono akan membubarkan
Daerah Istemewa Yogyakarta serta menghapus system monarkhi yang menjadi salah
satu pusat kearifan lokal di Indonesia .
F. Kearifan Lokal Dalam
Konteks Pembentukan Karakter Bangsa Indonesia
Kearifan atau kebijaksanaan adalah sesuatu yang
didambakan umat manusia di dunia ini. Kearifan dimulai dari gagasan-gagasan
dari individu yang kemudian bertemu dengan gagasan individu lainnya, seterusnya
berupa gagasan kolektif. Kearifan lokal ini biasanya dicipta dan dipraktikkan
untuk kebaikan komunitas yang menggunakannya. Ada kalanya kearifan lokal itu
hanya diketahui dan diamalkan oleh beberapa orang dalam jumlah yang kecil,
misalnya desa. Namun ada pula kearifan lokal yang digunakan oleh sekelompok
besar masyarakat, misalnya kearifan lokal etnik.
Kearifan lokal ini juga tidak dapat dilepaskan dari
kebudayaan masyarakat yang mendukungnya. Kearifan lokal, biasanya mencakup
semua unsur kebudayaan manusia, yang mencakup: sistem religi, bahasa, ekonomi,
teknologi, pendidikan, organisasi sosial, dan kesenian. Kearifan lokal bermula
dari ide atau gagasan, yang kemudian diaplikasikan dalam tahapan praktik, dan
penciptaan material kebudayaan. Ia akan terus berkembang sesuai dengan
perkembangan zaman, intensitas pergaulan sosial, dan enkulturasi sosiobudaya.
Apalagi dalam dunia yang tidak mengenal batas seperti sekarang ini,
kearifan lokal sangat diwarnai oleh wawasan manusia yang memikirkan dan
menggunakannya.
Kearifan lokal di peringkat etnik juga bisa
bermacam-macam bidang. Misalnya untuk merespons alam sekitar manusia membuat
rumah sekalian dengan aspek-aspek spiritual untuk menjaganya. Begitu juga
dengan sistem perkawinan, ada yang mendasarkan kepada perkawinan di luar klen
(eksogamus), perkawinan untuk kepentingan politik kekuasaan, perkawinan
perempuan melamar lelaki atau sebaliknya. Selain itu, kearifan lokal juga
tercermina dalam filsafat atau pandangan hidup manusia yang memikirkan dan
menggunakannya. Sebagai contoh dalam masyarakat Batak Toba dikenal dengan
filsafat dalihan na tolu (DNT), dalam masyarakat Aceh dikenal adat
bak petumeuruhom hukom bak syaiah kuala, dalam kebudayaan Minangkabau ada
filsafat alam nan takambang menjadi guru, dalam kebudayaan Jawa terdapat
filsafat alon-alon waton kelakon dan sederek, dalam masyarakat
Sulawesi ada filsafat persaudaraan universal pelagandong, dan
lain-lainnya.
Kearifan lokal juga dapat mendukung kepada keberadaan
negara bangsa (nation state) tertentu. Bahkan dalam merumuskan sebuah
negara bangsa, selalunya diwarnai oleh kearifan-kearifan lokal yang tumbuh
dalam masyarakat yang membentuk dan mencita-citakan negara bangsa tersebut.
Misalnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang mempunyai dasar negara
Pancasila, sebenarnya adalah proses pemikiran para pendiri bangsa ini untuk
membuat dasar negara yang diambil dan digali dari nilai-nilai kearifan lokal
Nusantara. Kearifan-kearifan lokal ini kemudian dirumuskan menjadi lima sila
yang berdasar kepada bentuk “ikatan sosial budaya” biar berbeda-beda tetapi
tetap satu (bhinneka tunggal ika).
Kearifan lokal yang dimaksud bisa saja berasal dari
kebudayaan etnik, atau pemikiran kebangsaan dari masyarakat Indonesia, dari
rentangan masa ke masa. Selanjutnya menjelaskan bagaimana kearifan lokal ini
dapat memebentuk karakter bangsa Indoensia, yang seperti kita ketahui memiliki
ciri-ciri seperti: suka bergotong royong, religius, nasionalis dan menghargai
segala perbedaan dalam konteks persatuan dan kesatuan, pekerja keras, tidak
bergaya hidup mewah, dan seterusnya, sebagai karakter yang dicita-citakan
bersama, dalam rangka membangun negara bangsa Indonesia.
